Dalam Agama Islam segala sesuatu yang telah terdapat di Al Qur’an tidak dapat untuk di tawar lagi. Ketentuan-ketentuan, hukum-hukum dan konsekuensi-konsekuensi yang telah tercatat tidak dapat dengan mudah untuk di rubah sesuai dengan kehendak hati kita. Namun apabila terdapat beberapa hal yang sekiranya tidak masuk akal atau tidak dapat untuk diterapkan dalam perjalanan hidup di jaman ini, maka akan muncul yang namanya ijma’ dan qiyas. Dimana ijma’ dan qiyas tersebut merupakan keputusan yang diambil dan diterapkan dalam masyarakat menurut pendapat para ulama, yang dalam hal ini di Indonesia dilakukan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia). Dalam mengambil dan menentukan sebuah keputusan menurut kesepakatan bersama, tentunya dilakukan melalui suatu pertemuan akbar antara beberapa keyakinan-keyakinan yang ada di Indonesia (NU dan Muhammadiyyah) atau organisasi-organisasi islam lainnya yang terdapat di Indonesia. Hal tersebut biasa disebut dengan musyawarah. Musyawarah dalam islam itu sendiri mempunyai arti berunding untuk mendapatkan mufakat yakni hasil yang telah disepakati bersama-sama.
“Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.” (Q. S. Ali Imran:59)
Sesuai dengan ayat Al Qur’an di atas, perintah untuk melaksanakan musyawarah datangnya langsung dari Allah SWT. Dimana musyawarah dapat juga dilakukan apabila menemui suatu perkara atau masalah yang belum ditemukan jalan keluarnya sehingga menyebabkan perselisihan yang akan berakibat fatal. Untuk itu kegiatan musyawarah ini sangatlah diperlukan, sebagaimana dilakukan oleh para Nabi yang telah terlebih dahulu menjalankan kegiatan musyawarah untuk memecahkan suatu masalah sehingga ditemukan jalan keluar yang tepat karena telah disepakati bersama oleh orang-orang yang hadir dalam musyawarah tersebut.
Rasulullah sangat menyukai kegiatan musyawarah bersama para sahabat-sahabatnya, seperti telah diceritakan pada beberapa cerita-cerita islami. Rasulullah melakukan musyawarah ketika dalam mengatasi peperangan dan hasilnya beberapa peperangan dimenangkan oleh kaum muslimin yang di pimpin langsung oleh Rasulullah. Begitu kuatnya manfaat musyawarah yang dapat mengindarkan kita dari kesalahpahaman yang biasa terjadi di antara sesame umat manusia.
Musyawarah dalam islam sangatlah berbeda dengan adab demokrasi dalam budaya barat, dimana setiap orang dalam masyarakat islam menikmati hak-hak dan kekuasaan-kekuasaan dari perwakilan ketuhanan itu atau khalifah dan dalam hal ini semua perorangan manusia adalah memiliki kedudukan dan status yang sama antara satu dengan yang lain. Tidak ada seorang pun melebihi yang lainnya atau dapat melucuti seseorang lain dari hak-hak dan kekuasaan-kekuasaanya. Badan-badan untuk melaksanakan soal-soal negara dibentuk sesuai dengan kehendak dari orang-orang ini dan kekuasaan negara hanya suatu pertumbuhan bersama belaka dari kekuasaan-kekuasaan perorangan yang didelegasikan kepadanya. Pendapat mereka adalah decivise (memutuskan) dalam pembentukan pemerintah yang harus dijalankan dengan nasihat mereka dan sesuai dengan kehendak-kehendak mereka. Barang siapa memperoleh kepercayaan mereka ia akan tugas dan kewajiban –kewajiban dari Khilafah atas nama mereka; dan jika ia kehilangan kepercayaan ini, ia harus berhenti dan menundukkan kepalanya terhadap kemauan mereka itu. Dalam hal ini sistem politik Islam adalah suatu bentuk musyawarah yang sempurna. Dimana musyawarah dalam islam akan menghasilkan kekuatan-kekuatan yang sangat tangguh untuk melawan segala macam bentuk kedzaliman-kedzaliman yang telah terjadi selama ini.